BAB VI
TASAWUF DALAM ISLAM
A.
Pengertian
Tasawwuf
1. Pengertian Etimologi
Istilah
tasawuf, menurut Amin Syukur adalah istilah yang baru di dunia Islam.
Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para
sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an. Tasawuf
adalah sebutan untuk mistisisme Islam. Dalam pandangan etimologi kata sufi mempunyai pengertian yang berbeda.
Menurut Haidar
Bagir, kata sufi berasal bahasa Arab yang merujuk
pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah: 1. Kata shaff (baris,
dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. 2.
Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa
mencirikan pakaian kaum sufi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni parazahid (pezuhud),
dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di
serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn
Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan
Hudzifah bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku
Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. Dan yang paling tepat pengertian
tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks
kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
2. Pengertian Terminologi
a.
Imam Junaid dari Baghdad (w. 910) mendefinisikan tasawuf
sebagai mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah. Atau
keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang
terpuji.
b.
Syekh Abul Hasan Asy
Syadzili (w.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai
praktik dan latihan diri melalui cinta
yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
c.
Ibn Khaldun mendifinisaikan tasawuf adalah semacam ilmu
syar’iyah yang timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun
ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap
kepada Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan
kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
d.
Ibnu Maskawayh mengatakan
akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa
itu) untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya
pemikiran kerana sudah menjadi kebiasaan.
e.
Harun Nasution dalam bukunya
falsafat dan Mistisme dalam islam menjelaskan bahwa, tasawuf merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam bisa
sedekat mungkin dengan tuhan.
f.
Amin syukur mendefinisikan tasawuf sebagai
sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah mujahadah) untuk membersihkan,
mempertinggi dan memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepada Nya.
Jafi, tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan
jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh
kebahagiaan yang abadi. Dari definisi tentang tasawuf di atas diperhatikan dan
dipahami secara utuh, maka akan tampak selain berorientasi spiritual, tasawuf
juga berorientasi moral. Dan dapat disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian hati dan
penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirnya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan
Allah.
Dengan demikian, sufi
adalah orang yang telah
dimampukan Allah untuk menyucikan hati dan menegakkan hubungannya dengan Dia
dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan
dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad SAW SAW.
B. Dasar-dasar Tasawwuf
Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menjadi landasan munculnya
kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang
rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya dan berusaha mensucikan
jiwa (QS. As Sajadah [32]: 16, QS. Asy Syams [91]: 7-10), ayat yang berkenaan
dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri
hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah
sebagai tempat menggantungkan segala urusan. (QS. At Thalaq [65]: 2-3). ayat
yang berkenaan dengan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia (QS. Asy Syuraa
[42]: 20) dan ayat-ayat yang mememerintahkan orang-orang beriman agar
senantiasa berbekal untuk akhirat
“lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu
berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka
menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS. As Sajadah [32]: 16)
7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.(QS.
Asy Syams [91]: 7-10)
2. apabila mereka telah mendekati
akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan
keluar. 3. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bag
“ barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami
tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di
dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa [42]: 20)
“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid [57]: 20)
C.
Pandangan
tentang Asal Usul Tasawwuf
1. Sufisme berasal dari
bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen
(yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan).
Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh
Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam
ajaran Islam
2. Sufisme yaitu
ajaran mistik yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan
India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu
yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel)
dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia.
3. Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan
kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama
Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama
non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan
ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan
kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit
jumah orang Islam yang menganutnya.
4. Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan
karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan Sufi. Soal hakikat Tasawuf, ia itu
bukanlah ajaran Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin
Abi Thalib ra. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata:
“Tatkala kita telusuri ajaran Sufi
periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang
keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan
terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan
kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin
umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia,
serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha"
D.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf
1. Abad
I dan II Hijriyah
Fase
abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase
tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Tasawuf pada fase ini
lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti
memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain
sebagainya.
Kesederhanaan
kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan
tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik
dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan
pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan
spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul
s.a.w yang di sebut dengan ahl
al- Shuffah.
Kelompok
ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman
al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah
ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn
Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
2. Fase
Abad III dan IV Hijriyah
Abad
ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. pada permulaan abad ketiga
hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan
ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan
pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan
langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa
konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana
fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke
persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ).
Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli
hakikat.
Pada
fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi
dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat).
Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah
sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ).
Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
Di
antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan
konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 –
309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya.
3. Fase Abad V Hihriyah
Fase ini disebut sebagai fase
konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an
dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang
sesuai dengan tradisi (sunnah)
Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase
sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau
tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya.
Tokoh tasawuf pada fase ini
adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali.
Tokoh
lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin
Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.),
al-Qusyairi menulis al-Risalah
al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.
4. Fase Abad VI Hijriyah
Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang
lebih dikenal dengan Ibnu Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi
yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh
Besar). Tokoh lain adalah al-Syuhrawardi (549-587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan
kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara
kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan
Ibn al-Faridl (632 H.)
E.
Pembagian
Ilmu Tasawuf
1. Tasawuf Ahlaki
Tasawuf
akhlaki adalah tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral) atau
taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Ajaran tasawuf akhlaki membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap
mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan
yang optimal. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf
bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang
tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam
diri para sufi.
Dalam
diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk.
Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara
potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam QS. As-Syams : 7-8 sebagai
berikut :
Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
a. Takhalli
Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
b. Tahalli
Tahalli
adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) seperti sholat, puasa,
haji, maupun internal (dalam) seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada
Allah.
c. Tajalli
Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
yang telah membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki
antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H),
al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir
al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H),
Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
2. Tasawuf
Amali
Tasawuf
amali adalah tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan
beribadah, tujuannya agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setiap
melakukan ibadah. Keseluruhan
rangkaian amalan lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan melakukan macam-macam amalan yang
terbaik serta cara-cara beramal yang paling sempurna. Tasawuf Amali berkonotasi dengan tarekat.
Tokoh tasawuf ini antara lain, Rabiah Al Adawiyah dan Dzun Nun Al Misri.
Pengalaman
tasawuf amali dibagi kedalam empat bidang
sebagai berikut:
a. Syari’at
Syari’at
adalah hukum-hukum formal yang dijadikan
sandaran amalan lahir yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui
Alqur’an dan Sunnah. Sehingga seorang pengamal sufi tidak mungkin memperoleh
ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan lahiriahnya.
b. Thariqot
Kalangan
sufi mengartikan thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi
pegangan pengikut tasawuf dan dijadikan metoda pengarahan jiwa dan moral.
c. Hakikat
Dalam
dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek bathin yang paling dalam dari setiap
amal atau inti dan rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan menuju
Allah.
d. Ma’rifat
berarti
pengetahuan atau pengalaman. Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan
langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah
langsung dari ilmu hakikat.
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf
Falsafi yaitu tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah pemikiran mendalam/
metafisik. Dalam upaya mengungkapkan penglaman rohaninya, para para sufi
falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang dikenal
dengan syathahat yaitu suatu ungkapan yang sulit di pahami, yang sering
mengakibatkan kesalhpahaman. Tokoh tasawuf ini antara lain, Abu Yazid Al
Bustami, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi.
Dalam
tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat
beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah
al~wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.
a. Hulul
Hulul
merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya
kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Paham hululini disusun oleh Al-hallaj
Kata
hulul berimplikasi kepada bahwa tuhan akan menempati dan memilih tubuh manusia
untuk ditempati, bila manusia dapat menghilangkan sifat nasut(
kemanusiaannya) dengan cara fana (menghilangkan sifat-sifat tercela melalui
meniadakan alam duniawi menuju kesadaran ketuhanan).
b. Wahdah
Al-Wujud
Istilah
wahdah Al-wujud adalah paham yang mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu
dengan tuhan, akan tetapi tuhan disini bukanlah tapi yang dimkasud tuahn
bersatu padu disini bukanalh Dzat yang tuhan yang sesungguhnya, melainkan
sifat-sifat tuhan yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan
proses fana’
c. Ittihad
Pembawa
faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran
Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka
padadasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahiatau
dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
F.
Sumber-sumber
Tasawwuf
Sebagaimana layaknya ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlaq,
ilmu kalam, ulumul qur’an, ulumul hadits dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang
penamaannya baru muncul setelah Rasul wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf,
exixtensi namanya baru dikenal jauh setelah Rasul wafat. Namun esensi ilmu
tasawuf sesungguhnya bersumber dari Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad sufi dan
qiyas sufi.
1. Allah
Allah merupakan Zat sumber
ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf dari
selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmuNya kepada para sufi
lewat hidayah (ilham) baik langsung maupun dengan perantaraan lain selain Allah
yang Allah kehendaki.
Ada kalanya lewat Al Qur’an
dengan metode iqro’ul Qur’an
(membaca, menyimak, menganalisa isi kandungan Al Qur’an), ada pula melalui alam
dengan cara perenungan sufi dan lain sebagainya yang pada intinya merupakan
hidayah dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide tercerahkan dalam nuansa
pemikiran dan keyaqinan terunjam di hati untuk dimanifestasikan dalam realita
kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri kepada Allah.
2. Rasulullah SAW
Rasul merupakan sumber
kedua setelah Allah bagi para sufi dalam mendalami dan pengambangkan ilmunya,
karena hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyuNya, tentulah Rasul
pula yang lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat di balik yang
tersurat dalam Al Qur’an. Semua keterangan tersebut hanya ada di hadits
Rasulullah, maka sumber yang kedua ilmu tasawuf adalah Hadits (Sunnah Rasul).
3. Pengalaman Sahabat
Setelah merujuk pada
referensi Al Qur’an dan Hadis, referensi selanjutnya bagi aktivitas tasawuf
adalah pengetahuan dan tindakan para pengikut setia Rasulullah Muhammad SAW
SAW. Pengalaman spiritual yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu.
4. Ijma’ Sufi
Ijma’ Sufi (kesepakatan
para ‘ulama tasawuf) merupakan esensi yang sangat penting dalam ilmu tasawuf,
karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf
setelah Al Qur’an dan Hadits.
5. Ijtihad Sufi
Dalam kesendiriannya, para
sufi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu merupakan guru terbaik,
namun Allah memberi aqal untuk berfikir semaksimal mungkin sebagai alat pembeda
antara kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman.
6. Qiyas Sufi
Qiyas merupakan penghantar
sufi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari
jama’ahnya.
7. Nurani Sufi
Setiap sufi positif,
memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah
firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap
kaum sufi, bias dari keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah
kepada Allah tanpa kenal lelah.
8. Amalan Sufi
Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia (menyembunyikan)
nurani dan amalinya, karena jika dua hal tersebut diketahui umum dapat
menimbulkan kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi tariqat (perjalanan)
sufi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi tersembunyi,
gaib) yang tidak semua orang mampu menjalaninya, namun para sufi amat
merindukannya disebabkan semata karena cinta kepadaNya.
G.
Istilah-istilah Tasawuf
1. Al Maqamat
a. Pengertian
Definisi Al
maqamat secara etimologis adalah
bentuk jamak dari kata maqam, yang
berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti
dasarnya adalah tempat berdiri, dalam
terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan
Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab
(etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai
upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam
pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (‘ibadah), kesungguhan melawan hawa
nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah)
dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
b.
Tingkatan
Al Maqamat
Imam Ghazali dalam
kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat,
sabar, faqir, zuhud,
tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.
1) Taubah
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan
memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf,
taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji
untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.
Menurut Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin.
Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini
para ahli haqiqat tidak ingat lagi
akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan
mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus
al-khusus). Adapun taubatnya ahli
ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.”4 (QS. Yusuf [12]:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).
2) Wara’
Kata wara’ secara
etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif
tasawuf bermakna menahan diri hal-hal
yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi, “Diantara
(tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak
penting baginya”.
Adapun 2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah
:
a) Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan terkait dengan hati
(kesesatan, bid’ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)
b) Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang
dikhawatirkan akan jatuh pada keharaman, dan meninggalkan kelebihan meskupun
berupa bagian dari kehalalan.
3) Zuhud
Menurut Imam Ghazali, makna kata zuhud adalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh
kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad SAW Al
Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung
tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf
h berarti hawa (keinginan),
dan d menunjuk kepada dunya
(materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati
terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya
karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak
merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan
putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama,
Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan
orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya
kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat,
sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga,
Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini
adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak
Allah. Sedangkan menurut Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
a) Kelompok pemula (mubtadiin),
mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga
kosong kalbunya.
b) Kelompok para ahli hakikat
tentang zuhud (mutahaqqiqun fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai
orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada
di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
”… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa…” (QS. An Nisa [4]: 77)
“ …dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun
mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9)
4) Al Sabr
Al
Sabr secara etimologi berarti
tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis Al
Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan,
sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai
baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam perspektif tasawuf Al sabr
berarti menjaga menjaga adab pada musibah
yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan
kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri
dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu
ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Sabr menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang
menimpanya.
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam
sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap
segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar
terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap
kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang
menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga
yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh
melalui usaha manusia sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang
diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu
dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah,
serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
“ bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan Tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka
tipu dayakan.” (QS. An Nahl
[16]: 127)
Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr
a) Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah,
bencana, atau kesusahan.
Adapun contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau
ditinggalkan oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian
ditambah lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa
bencana.
b) Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf,
Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan
Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran
dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat.
Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung
untuk melakukan maksiat.
c) Sabar dalam menjalankan ketaatan.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh
nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas
perintah Allah, meskipun saat itu sang ayah akan menyembelih anaknya sendiri.
Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.
5) Syukur
Syukur secara terminology berasal dari kata bahasa
Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran dalam benak tetang nikmat dan
menampakkannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat
yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang
diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu
berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti
gembira atas nikmat yang telah diberikan.
Syukur
dalam pandangan Ibn
‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu
mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur
dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk
ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah
Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-mata dari-Nya.
Dengan akal ini manusia dapat berpikir,
berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk
mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan
oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.
“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih".(QS. Ibrahim
: 7)
6) Tawakkal
Tawakkal bermakna berserah
diri. Tawakkal dalam tasawuf
dijadikan washilah untuk memalingkan
dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan
keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal
dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan
kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua
yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang
jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah.
“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]:
2-3)
“ Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami
melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami,
dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At Taubah [9]: 51)
7) Ridha
Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang
terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut
menyenangkan atau tidak. Sikap ridha
merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
Imam Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk
mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh
aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari
keridhaan Allah.
rang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan
Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh
kepada-Nya, dan yakin
“ Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat
bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya
mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha
terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar".(QS. Al Maaidah [5]: 119)
Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Ridla
Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas
kita sebagai manusia hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita
selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadha
dan qadarn-Nya walaupun terkadang
pahit dan menyakitkan. Sikap ridha adalah cerminan kepatuhan hamba kepada
Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.
0 komentar:
Posting Komentar