BAB X
MENELADANI SIFAT TERPUJI ABDURRAHMAN BIN AUF
DAN ABIZAR AL-GHIFARY
A.
Abdurrahman bin Auf
1.
Riwayat Hidup singkat
Salah
seorang sahabat besar Nabi Saw. dan termasuk dalam sepuluh sahabat yang
dijanjikan nabi Saw. akan masuk surga (Al-Asyrah
Al- Mubasyarah = sepuluh yang digembirakan. Pada masa Jahiliyah, ia dikenal
dengan nama Abd Amr. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya Abdurrahman
bin Auf. Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Al-Arqam sebagai
pusat dakwah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah dua hari setelah Abu Bakar
Ash-Shiddiq memeluk Islam.
Semenjak masuk Islam sampai
wafatnya dalam umur 75 tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang bagi sebagai
seorang mukmin yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi Saw. memasukkannya dalam
sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga. Umar bin
Khatab mengangkatnya menjadi anggota kelompok musyawarah yang berjumlah enam
orang yang sebagai calon khalifah yang dipilih menjadi penggantinya, seraya
berkata “ Rasulullah wafat dalam keadaan rida kepada mereka! ”
Ketika Nabi
saw. memerintahkan para sahabatnya yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia),
Abdurrahman bin Auf ikut hijrah untuk kedua kalinya ke Habasyah dan kemudian ke
Madinah. Ia ikut
bertempur dalam perang Badr, Uhud, dan peperangan-peperangan yang lainnya. Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan orang yang mula-mula
masuk Islam. Ia juga tergolong sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira oleh
Rasulullah masuk surga dan termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam
pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah
seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selama beliau
masih hidup.
2. Teladan yang bisa diambil
2. Teladan yang bisa diambil
Abdurrahman bin
Auf memiliki watak yang dinamis, dan ini dampak menonjol ketika
kaum muslimin hijrah ke Madinah. Telah menjadi kebiasaan Rasulullah pada waktu
itu untuk mempersaudarakan dua orang sahabat, antara salah seorang Muhajirin
warga Mekah dan yang lain dari Ansar penduduk Madinah. Orang-orang Ansar
penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya
orang-orang Muhajirin.
Kehidupan Abdur Rahman bin Auf di Madinah, baik
semasa Rasulullah Saw maupun sesudah wafatnya, terus meningkat. Barang apa saja
yang ia pegang dan ia jadikan modal perdagangan pasti menguntungkannya. Seluruh
usahanya itu ditujukan untuk mencapai rida Allah Swt semata sebagai bekal di akherat kelak.
Suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar,
kemudian uang itu dibagi-bagikannya kepada kelurganya Bani Zuhrah, istri Nabi
saw dan kaum fakir miskin. Pada hari lain, ia menyerahkan 500 ekor kuda untuk
perlengkapan bala tentara Islam. Menjelang
wafatnya ia mewasiatkan 50 ribu dinar untuk jalan Allah Swt dan 400 dinar untuk setiap orang yang ikut Perang
Badr dan masih hidup.
Selain
pemurah dan dermawan, ia dikenal pula sebagai sahabat Nabi
Saw yang banyak meriwayatkan hadis.
Aburrahman bin Auf juga termasuk yang
zuhud terhadap jabatan dan pangkat.
Demikian profil singkat sahabat Nabi yang bernama
Abdurrahman bin Auf. Dari sejarah singkat tersebut banyak hal yang perlu kita
teladani, di antaranya sikap tolong menolong, dinamis dalam berusaha, dermawan,
serta zuhud atau tidak gila dunia. Sebagai generasi muda Islam sanggupkah kita
meneladaninya ?
A.
Abizar al-Ghifari
1. Sebelum Masuk Islam
Tidak
diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan
tinggal dekat jalur kafilah Makkah,
Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan keluarganya.
Abizar
yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi
keseharian. Itu sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal
sebagai perampok besar yang sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di
sekitarnya.
Kendati
demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya, insaf
dan berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala
perbuatan jahatnya itu, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya.
Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab
meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama
ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab
Saudi. Ini merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed
Atas, Abizar tak lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap
revolusioner sehingga tak jarang mendapat tantangan
dari masyarakat setempat.
2. Masuk Islam
Mendengar
datangnya agama Islam, Abizar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu,
ajaran Nabi Muhammad ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan
membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abizar yang telah
lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan ingin
bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi ke Makkah,
dan sekali-sekali mengunjungi Ka'bah. Sebulan lebih lamanya ia mempelajari
dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah
dalam suasana saling bermusuhan.
Demikian
halnya dengan Ka'bah yang masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para
penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang
populer. Nabi juga datang ke sana untuk salat.
Seperti
yang diharapkan sejak lama, Abizar berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada
saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang
paling gigih dan berani.
Bahkan
sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata:
"Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat
kehormatan melihat Nabi Besar Islam." Sejak saat itu, Abizar membaktikan
dirinya kepada agama Islam.
3. Menjadi Sahabat Nabi
Mendapat
kepercayaan Nabi SAW, Abizar ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya.
Meskipun tak sedikit rintangan yang dihadapinya, misi Abizar tergolong sukses.
Bukan hanya ibu dan saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka
merampok berhasil diislamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah
seorang penyiar Islam fase pertama dan terkemuka.
Rasulullah
sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah untuk terjun
dalam "Perang pakaian compang-camping", dia diangkat sebagai imam dan
administrator kota itu. Saat akan meninggal dunia, Nabi memanggil Abizar.
Sambil memeluknya, Rasulullah berkata: "Abizar akan tetap sama sepanjang
hidupnya." Ucapan Nabi ternyata benar, Abizar tetap dalam kesederhanaan
dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis,
terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum Quraisy hidup
dalam gelimangan harta.
Bagi
Abizar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar. Itu
sebabnya, hartawan yang dermawan ini gigih mempertahankan prinsip egaliter
Islam. Penafsirannya mengenai "Ayat Kanz" (tentang pemusatan
kekayaan), dalam surat Attaubah, menimbulkan pertentangan pada masa
pemerintahan Usman, khalifah ketiga.
"Mereka
yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan
Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka
terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan
emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis:
Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan
hasil yang telah engkau himpun."
Atas
dasar pemahamannya inilah, Abizar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan
dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit
pun Abizar tak mau kompromi dengan kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di
Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu.
Menurutnya,
sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Alquran,
merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada
saudara-saudaranya yang miskin.
Untuk
memperkuat pendapatnya itu, Abizar mengutip peristiwa masa Nabi: "Suatu
hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abizar, terlihat
pegunungan Ohad.
Nabi
berkata kepada Abizar, 'Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh
itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan
membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba
Allah'."n her
4.
Pelayan Dhuafa dan
Pelurus Penguasa
Semasa
hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa.
Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan
kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa
jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk
Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan
kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama
terakhir ini.
Prinsip
hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat
barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah
hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas
yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara
besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum
borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam
daging' bagi penguasa setempat.
Ketika
Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah
(sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik
khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda
telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda
sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya
terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah
berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur
egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah
diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak
mempengaruhinya.
Muawiyah
melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat
yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini.
Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya
Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan
kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang
serius.
Keberanian
dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya,
seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena
itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini,
tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada
semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun
bukan yang terkecuali."
B.
Kesimpulan
1.
Abdurrahman bin Auf memiliki watak yang dinamis, dan ini dampak
menonjol ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah. Kehidupan Abdur Rahman bin Auf
di Madinah, baik semasa Rasulullah Saw maupun sesudah wafatnya, terus
meningkat. Barang apa saja yang ia pegang dan ia jadikan modal perdagangan
pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya itu ditujukan untuk mencapai rida
Allah Swt semata sebagai bekal di akherat kelak. Walaupun begitu, sama
sekali tidak meninggalkan kesederhanaan, suka memberi, dan rendah hati.
2.
Abizar Al Ghifary
sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan
fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi
kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat.
Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya.
Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu
menyatakan diri masuk agama terakhir ini. Prinsip
hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat
barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah
hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas
yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara
besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan
kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging'
bagi penguasa setempat.
0 komentar:
Posting Komentar